1.1 — Keheningan di Akhir Zaman
Di negeri yang tak lagi ada di peta mana pun, di bawah gua tak berlangit yang bahkan matahari pun tak dapat menemukannya, waktu terhenti.
Satu-satunya suara di ruangan yang luas dan hampa itu adalah keheningan—tidak damai, tetapi menyesakkan. Keheningan melekat di udara seperti kutukan, seolah-olah gema pun takut membangunkan apa yang tertidur di dalamnya.
Sebuah makam raksasa berada di jantung reruntuhan. Bukan dari batu atau tanah, tetapi ditempa dari urat batu obsidian dan tulang naga kuno, makam itu berdenyut samar dengan sihir yang sangat tua yang mendahului konsep mantra. Cahaya biru samar mengalir dari rune yang diukir di permukaannya—simbol yang terlupakan bahkan oleh dewa tertua.
Di dalam peti mati itu, sesosok tubuh tergeletak tak bergerak.
Dadanya telanjang, pucat seperti salju yang belum tersentuh, namun tidak rusak oleh usia atau pembusukan. Rambutnya yang keperakan mengembang di bawahnya, cukup panjang untuk menyentuh lapisan kristal peti mati. Meskipun wajahnya masih muda—tidak lebih dari tujuh belas tahun—ada keheningan yang tidak wajar dalam raut wajahnya, terlalu sempurna untuk menjadi milik manusia biasa.
Lalu, tanpa peringatan, matanya terbuka.
Itu bukan mata manusia.
Tidak lagi.
Luas. Perak. Dingin seperti bulan yang terpantul di danau yang tenang. Tidak ada rasa takut. Tidak ada kebingungan. Hanya kenangan.
> “Jadi… beginilah mereka membuat makamku,” bisiknya, suaranya hampir tidak lebih keras dari napas. “Kasar, tapi cerdik. Bahkan yang suci pun tidak akan melihat ke sini.”
Saat dia berbicara, tanda-tanda yang mengelilingi peti mati itu mulai berkedip-kedip—dengan dahsyat.
Lalu mereka hancur.
Dengan suara retakan seperti jeritan dari tulang-tulang bumi, makam itu terbelah. Pecahan-pecahan kristal suci beterbangan ke segala arah, menancap di dinding-dinding batu seperti pisau. Sihir di dalam ruangan itu melonjak, tidak stabil karena terbangunnya sesuatu yang seharusnya tidak ada.
Anak lelaki itu duduk tegak, tidak terganggu.
Ia mengayunkan kakinya ke sisi peti mati yang hancur dan berdiri tanpa alas kaki di lantai yang dingin. Gerakannya tidak tergesa-gesa, anggun, seolah-olah dunia itu sendiri harus menunggunya selesai berpakaian.
> "Sepuluh ribu tahun," gumamnya, sambil melenturkan jari-jarinya. Mana mulai berputar di sekelilingnya, tebal dan berat seperti awan badai yang berkumpul sebelum perang. "Butuh waktu sepuluh ribu tahun bagi mereka untuk melupakanku sepenuhnya."
Dia terkekeh sekali—rendah dan hampa.
> “Saya hampir mengagumi keberanian mereka.”
Stolen content warning: this tale belongs on Royal Road. Report any occurrences elsewhere.
---
1.2 — Dunia di Atas Telah Berubah
Jauh di atas makam, di ibu kota terapung Eldrea, sebuah perayaan sedang berlangsung.
Hari ini menandai dimulainya Musim Kenaikan—periode pendaftaran tahunan untuk Academia Arx Magna, lembaga pendidikan rahasia paling bergengsi di seluruh Elarion. Anak-anak dari garis keturunan bangsawan, keturunan dewa, dan keajaiban sihir dari setiap benua berkumpul di bawah satu langit untuk bersaing memperebutkan hak untuk bergabung dengan Kelas Penguasa.
Kapal udara melayang di antara pulau-pulau terapung, spanduk berkibar di puncak menara, dan lampu bertenaga mana menari-nari di langit dalam gelombang warna yang memukau. Dunia tidak hanya beranjak dari zaman Raja Null—dunia telah berkembang pesat.
In one of the upper towers of the academy, a girl stood at the edge of her balcony, her red eyes fixed on the horizon.
Lady Selvaria Drakonis, heir to House Drakonis, bearer of the Flame Contract, and rumored to be one of the strongest prodigies in recent generations.
And yet, she looked troubled.
> “Something… stirred in the leyline,” she whispered. “A ripple in the Void.”
Her attendant, a nervous scholar with oversized glasses, bowed politely. “Lady Selvaria, forgive me, but you must be mistaken. The Voidline hasn't shifted since the Sealing War. The World Scripture confirms—"
> “The Scriptures lie,” she cut him off, voice quiet, but sharp as a blade. “Whatever that presence is… it’s older than scripture.”
---
1.3 — Footsteps from Oblivion
Back in the tomb, the awakened one stepped toward a gate at the far end of the chamber—ten meters tall, forged of lightless stone and sealed by ten divine crests.
He raised a single hand.
The crests cracked. Then crumbled.
> “Still bound by the laws of mortals, even after all this time?” His voice was cold now, amused and condescending, as though speaking to insects. “Pathetic.”
He stepped outside.
What awaited him was a ruined world.
A vast wasteland of gray skies and blackened plains, where no bird sang and no star shone. The surface world had been moved—lifted into the skies on floating continents, leaving this broken land behind as a prison for history they wanted forgotten.
> “Ah... so they buried the truth beneath their new heaven,” he mused. “How very... mortal of them.”
He stretched his hand into the air. Mana gathered like a storm around his fingers, forming a sphere of shifting, pulsating darkness—pure Null Essence, the primordial force of uncreation.
He formed a spell with just one word.
> “Traverse.”
Space split open in front of him. Not with magic as known by modern mages, but with authority that bent the very framework of reality.
Aether Veylan stepped through the rift.
And vanished from the forgotten world.
---
1.4 — The Arrival
In the middle of the Academy's entrance plaza, a portal opened.
It was not the elegant kind shaped by modern spellcraft. It tore open like flesh ripped apart, jagged and crackling with power no one alive could understand.
A figure stepped out—barefoot, in simple black clothes conjured from magic, silver hair swaying gently in the wind.
He looked around the crowd of noble scions with mild curiosity, as though observing strange animals in a garden.
Gasps followed.
A few backed away instinctively.
Not from fear of his appearance—he looked harmless enough—but from something else.
Something primal.
Something ancient inside them whispered:
> Bow. Or be erased.
He gave a soft, almost polite smile.
> “Greetings. I was told this place educates future sovereigns. I’d like to enroll.”
Silence.
Then laughter. From the back of the crowd.
A young noble in golden robes swaggered forward, flanked by guards. He sneered.
> “And who the hell are you supposed to be, street trash?”
Aether memiringkan kepalanya, suaranya tenang.
> “Ah, begitu. Masih terobsesi dengan garis keturunan dan nama. Tidak masalah.”
Dia memalingkan mukanya, seolah-olah anak itu tidak layak diajak bicara.
> “T-Tunggu dulu, dasar bajingan! Aku bertanya padamu!”
Bangsawan itu mengangkat tangannya. Mantra api pun menyala.
Namun dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk melemparkannya.
Dengan jentikan jari Aether, waktu di sekitar bocah itu berhenti. Dia melayang di tengah gerakan, matanya terbelalak karena ngeri, tidak dapat bernapas atau bergerak.
Kerumunan orang membeku.
Aether berbisik ke udara yang tenang.
> “Anda menanyakan nama saya.
Baiklah.
Ingatlah hal ini, jika jiwamu bertahan.”
Dia melangkah mendekat dan mencondongkan tubuh, suaranya bagaikan guntur yang terbungkus beludru.
> “Aether Veylan.
Penguasa Tahta yang Terlupakan.
“Raja Null.”
Dia melepaskan mantranya.
Bangsawan itu ambruk, tak sadarkan diri. Inti mananya—hancur tak dapat diperbaiki.
Aether mendesah.
> “Benarkah... apakah sihir sudah menjadi selemah ini?”
Dia berbalik ke arah kerumunan yang tertegun sambil tersenyum lembut.
> “Sekarang.
“Di mana saya bisa mendaftar?”